Wangi Doa di Tanah Gersang


Akulah pandir—yang mengerdilkan pikir sampai ke titik nadir. Kupanggul sepi, tergopoh ragaku menyeret pijak-pijak getir. Umpama bintang jatuh, nyalanya yang sebentar kukejar jauh sebelum lenyap bersisa gelap.

Meranggas asaku menggauli kecewa yang kian melesap serupa malam pertama penuh petaka. Elegi menyapa. Nada-nada nestapa mendekonstruksi isi kepala demi merobek tafsir sukacita. Senyap merambat mencambuki kaki-kaki rapuhku untuk lekas beranjak. Yang terikat berserak, yang terjerat meretak, yang berkarat pun patah tak terelak. Urat-urat luka yang menganga mulai menghitung detik-detik terbuang. Kidung sunyi meramaikan jalan kelana mengarah entah. Udara dingin memeluk erat tubuh ringkih yang meraung kehilangan jalan pulang. Reranting kering telah letih menadah rintih mega. Iring-iringan khianat tersenyum menyambut sisa nikmat yang mengantre khidmat menuju hilang.

Kerontang menyelimuti pekuburan yang basah dengan air mata. Eksodus dilancarkan. Hampa mengiringi langkah tertatih menjauhi reruntuh agung yang dulu kusebut rumah. Angin menyibak rambutku yang jatuh terurai, membisik pelan pada telinga yang kini terbuka, “... ada jalan pulih dalam tiap retak, tapaki dengan sabar.” Dan, sembilan belas blok dari epitaf lara, entitas lain menyapa. Ia memanggul gempita dengan gagahnya. Renyah tawa yang digaungkannya dan sederet hening yang kuhaturkan bagai sebiduk bening dan legam. Ada benih riang yang ia coba semai di tanah gersang. Namun waktu masih menimbang, apakah luka akan luluh atau tetap jadi bayang?

Piluku ditepuk-tepuk manja. Ujungnya yang terbuka dimantrakan hingga muncul celah cahaya merekah. Terhitung dua puluh dua kali persidangan tiga sekawan, mufakat mendorongnya mendobrak sela yang terkuak. Rangkaian upaya yang berkali ditampik bertemu dengan angguk keraguan. Apakah tepat?

Horizon bersemu merah muda, pendarnya tampak begitu cemerlang menyilaukan mata. Asmaraloka merangkak dengan tapak-tapak kecilnya. Nestapa perlahan mengundurkan diri dari bilik derita. Untaian temali warna-warni saling berkelindan satu dengan lainnya. Derap-derap imaji anyar menyelinap. Denting jiwa menemukan kembali irama yang sempat memudar. Irisan redup surya memapah harsa yang terpincang-pincang untuk kembali ke jalannya. Nyawa remang merengkuh kemilau hangat yang menampakkan eksistensi dalam satu jengkal.

Poros semesta berubah haluan. Adanya menjelma mata yang lekat menatap, telinga yang khusyuk menangkap, pun jemari yang tak henti meraup harap. Lama, lama, tepuk yang semula menampar udara berubah lantang. Ibu Bumi memangku angan lembut yang masih terlalu kanak untuk menatap sendu berjejak. Wangi doa-doa yang merebak menumbuhkan semarak untuk hari-hari kelak. Energi disulut dalam sebentar dan mengakar hingga mimpi-mimpi mekar. Napas berembus menyatu dengan detak, menenangkan jiwa yang pernah retak. Gemuruh asa berlabuh tenang, nahkoda yang resah menemukan jalan pulang. Ikatan itu, meski rapuh mula, bertumbuh bak pelukan abadi yang tak lagi tunduk pada luka.







Tabik!



Hvman
September 2025
Wangi Doa di Tanah Gersang Wangi Doa di Tanah Gersang Reviewed by hvman on September 16, 2025 Rating: 5

2 comments:

Powered by Blogger.

Pages

Label