Oktober 2022 lalu, saya berkunjung ke Sumatera Barat untuk pertama kalinya. Perjalanan ini saya tempuh kurang lebih dua belas jam dari kota Jambi yang sebelumnya saya singgahi selama satu bulan lebih. Saya tiba di provinsi dengan luas 42.120 kilometer persegi itu pada pukul tujuh. Hari masih terhitung pagi untuk menyambut kedatangan pejalan seperti saya. Dingin menyeruak seakan-akan menyambut kedatangan saya dengan sejuknya yang ramah-tamah. Karena perjalanan saya ditempuh dengan bus kota antar-provinsi, terminal adalah tempat pertama di sana yang kaki saya tapaki.
Saya tiba di kota Padang, yang juga merupakan ibu kota provinsi Sumatera Barat. Mendengar nama “Padang” pastilah timbul di benak kita cerita rakyat semacam Malin Kundang si anak durhaka, Siti Nurbaya, atau bahkan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan tokoh utama Zainudin yang sangat terkenal. Tidak lupa dengan tokoh-tokoh nasional dan para pemikir seperti Bung Hatta, Buya Hamka, Tan Malaka, dan masih banyak tokoh nasional lainnya. Meskipun, ya, sebenarnya tak semua tokoh yang disebut benar-benar berasal dari kota Padang, sisanya bakal muncul kata rendang! Ternyata, Padang menyimpan banyak hal yang masih terkesan sembunyi-sembunyi untuk menampakkan keelokannya.
Tempat yang selanjutnya harus saya datangi adalah tempat di mana teman, kerabat, dan sahabat saya berkumpul untuk menyambut kedatangan saya; Universitas Negeri Padang, atau lebih tepatnya sekretariat UKKES UNP. Di sana, akan menjadi rumah singgah saya selama kurang lebih tiga bulan.
Mereka menyambut saya lebih dari sekadar tamu biasa, memperlakukan saya selayaknya saudara jauh yang baru pulang dari perantauan menuju kampung halaman. Di sana, banyak hal yang indrawi saya baru dapatkan; mendengarkan cerita ombak secara langsung, membelai pasir pantai yang putih, atau mengudap penganan yang tentunya sangat sulit saya temui di kota asal saya–Palembang. Selain itu, saya juga mengikuti banyak kegiatan positif selama di sana; bermain teater, membaca puisi, bahkan sempat melahirkan satu buku antologi cerpen! Sungguh hal yang tak mungkin saya lupakan.
Sebenarnya, banyak sekali tempat yang sangat ingin saya kunjungi selama berada di tanah Urang Awak ini. Akan tetapi, saya secara pribadi tertarik dengan sebuah desa yang selama ini hanya bisa saya lihat di story ataupun unggahan media sosial saja. Desa itu berada di Kabupaten Agam, daerah dataran tinggi, sebuah desa yang diceritakan oleh kenalan saya. Beruntungnya, setelah menetap selama lebih dari dua bulan di ibu kota provinsi Sumatera Barat, saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke sana.
Uda Madrid, atau Kamerad Madrid sapaannya, mengajak saya mengunjungi desa tersebut. Kebetulan, beliau yang memiliki nama asli Madrid Ramadhan itu juga merupakan seorang perangkat desa di sana. Perjalanan itu kami mulai dari sore hari dengan titik awal kota Padang, tentunya.
Seperti yang diterangkan oleh Google Maps; estimasi perjalanan akan memakan waktu hampir lima jam dengan jarak tempuh 185,9 km melewati Jalan Tan Malaka (tentunya jalan Tan Malaka adalah jalan yang paling benar) dengan menggunakan mobil. Namun, kami memutuskan untuk menggunakan sepeda motor (berlagak seperti Che Guevara dan sahabatnya–Alberto Granado Jimenez–yang berjalan jauh berboncengan mengelilingi Amerika Selatan mengendarai sepeda motor). Topografi Sumatera Barat yang dikelilingi banyak bukit dan sungai kecil menjadi “pijatan mata” tersendiri bagi kami. Tak terasa, setelah menempuh lebih dari dua jam perjalanan, kami sampai di kota Bukittinggi. Sebuah kota yang dulunya dikenal sebagai Parjis Van Sumatera.
Ketika baru sampai di kota ini, kami menyempatkan diri sejenak untuk meminum kopi sembari mengintip terang lampu kota dengan hiasan jam gadang yang menjulang tinggi. Banyak hal yang kami bicarakan di kedai kopi itu; mulai dari isi buku serta jeroannya, masa depan bagaimana yang paling cerah, bahkan sampai kata revolusi taik kucing yang seringkali dimeongkan anak muda. Kopi di masing-masing gelas kami surut, segala bentuk hangat itu bermigrasi ke tubuh kami. Kemudian, kami siap melanjutkan perjalanan yang masih tersisa dua jam lagi pada malam hari. Gelap malam dan udara dingin bercampur mengawal perjalanan kami. Pukul dua malam, jalanan gelap menuju desa dan tubuh yang lelah membuat Uda Madrid memutuskan untuk mengajak saya bermalam di rumahnya sebelum melanjutkan perjalanan.
Ayam berkokok. Di langit bagian timur, matahari sudah tampak. Sepeda motor kami kembali mengaspal di jalur kiri, siap menuju Pagadih.
Nagari Pagadih |
Setelah melewati gerbang selamat datang, pemandangan hijau nan rindang mengepung pandangan mata saya. Tebing di sebelah kiri dan pematang sawah di sebelah kanan dengan barisan rapi bukit di kejauhan merupakan penegasan bahwa kepingan surga memang sempat terbagi di tempat bernama Nagari Pagadih ini. Kami pun tiba di sebuah pos pemuda yang juga menjadi tempat tinggal sementara saya di sana. Sebagai seseorang yang terbiasa dengan suasana kota, saya anggap desa ini cukup sepi; hanya ada beberapa warga desa yang lewat untuk pergi menuju kebun mereka. Bahkan, saya tak menemukan seseorang yang sebaya dengan saya. Rupanya, desa ini hanya memiliki sekolah SD dan SMP saja. Untuk menempuh pendidikan ke jenjang selanjutnya, mereka harus pergi ke luar kota.
Pada jam-jam dan hari produktif, beberapa warga desa juga ada yang beraktivitas di balai desa. Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana sembari sarapan serta menunaikan ritual ngopi pagi. Lagi-lagi hal yang berbeda saya temukan di sini; balai desa sekalipun tampak sangat minim aktivitas! Jika di kota banyak orang sudah tiba di kantor pemerintahan untuk mengurus kepentingan mereka masing-masing, ruang yang senggang tanpa aktivitas berlebihanlah yang netra saya dapat di Balai Desa Pagadih.
Kebun Sereh Wangi |
Siang itu tak terasa panas seperti di kota asal saya. Di sana masih terasa sejuk seakan matahari tak pernah tinggi, seakan sepanjang hari adalah pagi. Saya diajak oleh seorang warga yang juga petani di sana untuk mengunjungi sawah dan kebun sereh wangi sekaligus berjalan-jalan keliling desa. Jajaran sereh wangi di tebing-tebing desa itu adalah sihir alami pemikat pandangan mata. Sereh wangi yang saya kira adalah sereh yang biasa saya temukan di dalam mangkuk pindang patin masakan ibu saya ternyata berbeda dengan sereh wangi di sana, karena sereh wangi itu biasa diolah untuk dijadikan semacam minyak telon.
Pematang Sawah di Pagadih |
Saya beristirahat di sebuah pondok kecil di sisi sawah. Suasana nyaman bersama angin yang membelai lembut membuat rasa kantuk tiba dengan cepat. Untuk pertama kalinya di dalam hidup saya, saya dapat terbagun dari tidur dengan pemandangan pematang sawah serta beberapa ekor kerbau yang sedang mencamil rerumputan.
Sore harinya saya pergi mandi di rumah salah satu kerabat Uda Madrid di sana. Tak ada air dari keran, air di sini berasal dari sungai dan mata air. Artinya, di Pagadih, tanah punya pribumi dan air tak perlu bayar ke pihak mana pun. Cukup berterima kasih kepada Tuhan. Setelah membersihkan diri selepas waktu magrib, saya baru menyadari bahwa lampu padam ketika malam hari datang. Terang bulan bersanding dengan taburan bintang di langit mengusir rasa khawatir saya akan gulita.
Menjelang tidur, nina bobo di sana adalah udara dingin khas dataran tinggi yang mencengkram tubuh hingga ke tulang. Saya pun membuka handphone untuk sekedar scroll sembari merebah kedinginan. Sial bagi saya yang terbiasa melakukan hal itu sebelum tidur, sebab tak ada jaringan ponsel di sana. Hanya ada koneksi wifi di beberapa tempat tertentu saja. Ya, selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah keindahan, bukan?
Tabik!
Pardesela
No comments: