Detik Sebelum Akhir

Cerpen Detik Sebelum Akhir

Mungkin, tuhan menciptakanku dari tetesan airmata. Dari perih yang perlahan-lahan membelah pipi ibunda. Mungkin, luka adalah napas yang menghidupkan. Membersamai langkah satu-satu yang terhuyung sampai entah. Mungkin, tangis adalah makanan pokok yang akan selalu kucari ketika lapar. Diramu dengan segala sepi dan hina hingga menyentuh titik nikmat yang begitu mantap.

Mungkin, aku adalah suara yang tercekat di pangkal tenggorokan; tidak sampai pada nyata untuk didengar.

***

“Aku ingin bunuh diri. Tapi, aku belum tahu apakah surga dan neraka benar-benar ada. Aku rasa, aku masih punya iman yang tertinggal. Walau, ya, hampir tidak terlihat,” katamu sembari menatap tajam mata pisau yang kamu genggam.

Lagi-lagi, kamu membuka malamku dengan ngeri.

Di sudut kiri samping jendela kamarmu, aku termangu. Menatap kamu yang membawa tubuh kerontang itu berjalan menuju pintu yang tertutup. Masih dengan benda tajam di tanganmu, kamu mengukir huruf demi huruf di bilah kayu bercat abu. Kutajamkan retina agar pandangku mampu menjangkau dari ujung ke ujung. “PENJARA”, demikian tulismu. Belum selesai sampai di situ, kamu tumpahkan segenap amarah pada ujung runcing yang menghunjam mahoni di hadapanmu. Lagi dan lagi, terus-menerus.

Peluhmu mulai membanjiri kening dengan barbar. Layang tanganmu melemah, bebannya seperti bertambah. Ada lelah yang menepuk kesadaran. Bersamaan dengan melambatnya tempo suara dug-dug-dug yang sedari tadi kamu timbulkan. Seketika, kamu menundukkan kepala. Aku tahu betul, kamu ingin sekali berteriak. Namun, kita sama-sama mafhum, suaramu tidak akan menembus pintu keluar. Satu tanganmu yang kosong meraih leher, kamu remas dengan begitu gemas dan berujung pada cakaran-cakaran yang meninggalkan bekas vertikal kemerahan. Bola matamu sudah menyerah untuk membendung aliran beningnya. Tumpahlah mereka. Pipimu basah.

Jalanmu gontai kembali ke ujung tempat tidur, tepat di serong kananku. Aku melihatmu dengan jelas. Masih terpatri sosokmu yang lalu, seorang yang bersinar dengan senyum yang ringan. Ada perih yang mampir seketika. Rindu juga, ya?

“Apa kamu pun merasakannya?” tanyaku.

Kamu menoleh ke arahku. Memerhatikanku dengan saksama. Dari ujung atas, ke bawah, kembali ke atas, sampai pandangmu dan pandangku tertumbuk di titik yang sama. Ujung jari telunjukmu terangkat lurus ke arah dadaku. Bola mata itu, tajam dan manusuk.

“Kamu! Salahmu! Kebodohanmu menjebakku!”

“A-aku… maafkan aku.”

Tidak. Aku tidak akan membanjirimu dengan alasan-alasan. Pedihmu jugalah rasaku. Kupahami lukamu yang menahun. Dan, semua ketidaknyamanan yang kamu pikul saat ini adalah tanggung jawabku; atas salahku mengimani manusia beserta segala janji yang keluar dari bibirnya. Waktumu hilang. Batinmu koyak. Pikirmu rusak. Suaramu teredam. Percayamu melayang. Untuk sebuah cerita yang malang dan serangkaian kesia-siaan.

Tatap bengismu masih terjaga. Perlahan, kamu merapatkan jarak. Tepat empat langkah. Tak mampu beranjak, kuhadapi ragamu dengan gugup yang kusembunyikan. Kita masih tampak sama. Setidaknya, demikian yang terlihat dari luar. Seandainya bisa, ingin rasanya kubenamkan kesadaranmu yang kesakitan dalam pelukku yang tidak seberapa hangat. Namun, aku hanyalah ketidakmampuan yang hidup dalam bayang-bayang.

“Mungkin, memang seharusnya kamu tidak pernah ada di dunia,” datar kalimat yang terucap darimu mengumpulkan ketakutan yang berkali-kali kucoba singkirkan.

“Lepaskan. Lepaskanlah, Sayang. Lukamu juga butuh ruang.”

Tanpa aba-aba lebih lanjut, kamu melemparkan pisau yang sedari tadi lekat dalam genggaman. Aku masih mampu mendengar bunyi praang yang begitu keras, sebelum akhirnya tubuhku menjadi kepingan-kepingan yang berserak di lantai. Kuintip rautmu yang tanpa ampun dari penggalan tubuhku yang masih tersangkut di tempat semula. Sampai di sini saja, ya? Dan, gelap. Kuharap, gulitaku adalah upaya terbaik untuk jalan pulihmu.

Maafkan aku.

***

Mungkin, tuhan menciptakanku dari tetesan airmata. Dari perih yang perlahan-lahan membelah pipi ibunda. Mungkin, luka adalah napas yang menghidupkan. Membersamai langkah satu-satu yang terhuyung sampai entah. Mungkin, tangis adalah makanan pokok yang akan selalu kucari ketika lapar. Diramu dengan segala sepi dan hina hingga menyentuh titik nikmat yang begitu mantap.

Mungkin, aku adalah kesalahan terbesar yang tidak mampu meraih maaf. Namun tolong, tetap jalani hidupmu, ya.

— selesai.





Tabik!





Hvman





* arsip tertanggal 13 November 2021, diteruskan pada 8 Agustus 2023, dan selesai pada 10 Agustus 2023.
Detik Sebelum Akhir Detik Sebelum Akhir Reviewed by hvman on August 10, 2023 Rating: 5

6 comments:

  1. lama nggak bikin karya seperti ini
    kosakata kayaknya udah menguap begitu aja saking lamanya ga bikin dan membaca novel

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku pun ini baru nyoba mulai lagi, Mbak. :)

      Delete
  2. Pilihan katanya tinggi ❤️👍👍👍. Aku sendiri ga akan bisa nulis dengan Kata2 puitis dan diksi berima seperti itu. Macet baru paragraf pertama kayaknya 😁.

    Baguuus mba. Dan dari ceritanya, terasa seputus asa apa si tokoh. Tp ttp berusaha utk hidup.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca cerita ini ya, Kak. :D

      Delete

Powered by Blogger.

Pages

Label