doc. Ruli Amrullah |
Pada awal tahun ini, seorang teman memperkenalkan saya dengan sebuah media pengarsipan yang cukup unik. Mirip dengan buku, majalah, buletin, atau sejenisnya. Zine (dibaca: zeen; zin) namanya, mengusung kebebasan bahkan secara tradisional dibuat dengan metode DIY (do it yourself). Bentuk zine pertama yang saya lihat mirip dengan selambaran kertas yang disatukan. Dicetak dengan warna yang beragam. Walaupun, pada waktu itu, zine yang saya baca hanya berwarna hitam dan putih dengan bahan kertas HVS saja. Dalam pandangan saya, kesederhanaan dan kebebasan merupakan kunci utama dari zine. Kesederhanaan itu juga terkait dengan konsep, isin, sampai media cetak.
Kebebasan di situ juga dalam pengertian yang membebaskan si kreator/zinesters itu sendiri. Karena memang zine tak memiliki aturan yang berlaku secara ketat dan kaku. Bahkan kita dibebaskan untuk menafsirkan zine itu sendiri.
Mungkin kedua nilai itulah yang membuat zine akan terlihat berbeda dengan buku, majalah, buletin, atau sejenisnya. Topik yang dibicarakan pun sangat beragam, mulai dari karya ilmiah, fotografi, seni rupa, hingga karya sastra. Bahkan, zine menjadi media agitasi hingga propaganda bagi beberapa kelompok.
Zine; Kebebasan dan Lintas Batas Kertas. Menjadi usungan untuk Palembang Zine Fest 2024. Zine seakan-akan tak ingin ketinggalan untuk “memanaskan” kota pempek ini pada musim hujan. Sama seperti di kota-kota besar di Indonesia lainnya yang juga menyelenggarakan event serupa. Acara tahunan yang rutin digelar sejak 2022 silam ini sempat akan diselenggarakan di awal bulan November, tetapi karena beberapa hal, akhirnya event manis ini dapat dilaksanakan pada pertengahan November.
Zinefest Palembang bahkan turut mengajak semua kalangan untuk meramaikan Zinefest tahun ini. Kurang lebih satu bulan jika dihitung sejak awal Oktober, seruan ajakan itu dikumandangkan lewat sosial media mereka @plgzinefest.
doc. Ruli Amrullah |
Kita menuju ke sebuah kedai kopi di kota Palembang bernama Rumah Sintas. Karena di sana, Zinefest Palembang akan berlangsung selama tiga hari. Dimulai dari hari Jumat (15 November 2024) sampai hari Minggu (17 November 2024).
Ahmad Rizki Prabu, Mohammad Tohir, Humaidy Aditya, Anger Nugroho, Ruli Amrullah, Pardesela, Aditya Pratama, Meizarraf, Amalia Ainunniissa, Diskommik, Aldy Nugraha, Ferry Youpou, Ivan, Svdays, Miwgar, Nabjjla, Kentai, Hehe x Do Bloc, Sumar, Palembang Movie Club, dan Ghompok adalah sederet nama zinesters yang terdiri dari individu dan komunitas.
Latar belakang para line up yang beragam, mulai dari ilustrator, fotografer, desainer grafis, penulis, sampai jurnalis membuat event ini semakin berwarna.
Acara tahunan ini dibuka dari siang hari. Ada banyak sekali zine yang dipamerkan, selain zine yang lahir di tahun ini, ada juga beberapa zine yang pernah dibuat sebelumnya. Tak ketinggalan lapakan teman-teman turut memadatkan event ini.
Di teras Rumah Sintas, ada lapakan yang menjajakan aneka ragam kerajinan tangan. Gelang, kalung, gantungan kunci hingga zine, menjadikan bumbu lain yang membuat event ini semakin sedap. Tentu saja, yang menjajakan teman-teman di kota Palembang, harganya pun menjadi berteman juga. Oh iya, jangan lupa ambil stiker gratis buat kenang-kenangan, ya.
Selepas isya, ikut saya menuju ruangan kecil. Tepat di sebelah kanan pintu masuk, ada yang sedang begesah (ngobrol santai dalam bahasa Palembang). Mereka para zinesters (sebutan untuk si pembuat zine) yang sedang memberikan informasi seputar zine yang mereka buat.
Ferry x Yuopou dengan zine bertajuk Eye On Design yang bernuansa Jepangnya, Kak Gula Caramel dengan zine yang memanjakan berjudul Anak Bunda, Svndays bersama Odd, Aldy Nugraha menyuguhkan apel dan Eve lewat zine-nya, hingga hasil USG menjadi cover zine milik Kak Prabu. Dipandu oleh warga sipil bernama Taxlan, mereka terlihat sangat intim ketika berbicara, asik dalam bertanya, ringan dalam menjawab, sopan, santun, dan tentu saja istiqomah. Gelak tawa mereka yang pecah membuktikan jika Zinefest Palembang hari pertama di tahun berhasil menyebarkan kebahagiaan tersendiri.
doc. Ruli Amrullah |
Sabtu, jika beruntung karena tiba di lokasi pada sore hari, kita bisa menimba ilmu bersama Taxlan, seputar tata letak digital. Ruang depan disulap menjadi “ruang kelas” oleh teman-teman Zinefest Palembang. Taxlan menyebarkan apa pun yang ada di kepalanya tentang tata letak digital, hal yang sebenarnya hal dasar, akan tetapi menjadi sangat penting bagi yang ingin membuat zine. Apalagi untuk saya yang terbilang awam.
Duduk, simak, catat lalu lumat ilmunya.
“Mata pelajaran” kedua datang dari kak Humaidy Kennedy. Akrab disapa Ken. Dia memberikan pengetahuan seputar jahit. Bukan jahit kain, baju, celana apalagi sepatu. Ken memberikan tutorial singkat, padat dan jelas, tentang bagaimana cara menjahit zine.
Selain dijilid atau distapler, zine juga biasa direkatkan dengan cara dijahit. Meskipun terkesan bebas. Zine juga harus rapi dong. Nah, Ken memberikan tips bagaimana biasanya ia menjahit zine. Jarum, benang, dan alat lainnya sudah terhampar di meja bersama zine yang bakal dijahit.
Selagi Ken menjahit bersama beberapa teman-teman. Di bawah pohon rindang, di depan halaman Rumah Sintas sudah berjejer kursi-kursi. Pemaparan karya di hari kedua akan segara dimulai. Dipandu oleh Kak Prabu, pemaparan karya hari kedua berlangsung dengan santai. Seperti sedang nongkrong pada umumnya, hanya saja yang membedakan: para pemapar dan teman-teman yang menyimak akan membicarakan karya-karya zine dari para zinesters.
Diskkommik memegang microphone terlebih dahulu, dengan zine berjudul Akrobat di tangannya, ia siap bercerita seputar zine-nya. Cukup menarik melihat zine Akrobat ini, karena zine itu tak hanya digarap seorang diri. Akrobat merupakan hasil kolaborasi dua ilusator; Diskkommik dan Meizarraf. Total ada 26 karya ilustrasi yang berada di dalam zine tersebut. Tiga belas ilustrasi dibuat oleh Diskkomik, lalu tiga belas lainnya dibuat oleh Meizarraf.
Kemudian pelantang beralih ke Dewirots, seorang fotografer asal Bali. Saya cukup antusias dengan Alerta, sebuah zine yang sedang digarap oleh Mbak Dewi, dia memberi sedikit bocoran, jika zine Alerta itu, nantinya akan berisikan banyak dokumentasi berupa foto saat dirinya membersamai tur sebuah band Critical Issues.
Mic kembali berjalan, kali ini dipegang oleh seorang fotografer. Adithihii atau akrab disapa Adit. Pernah; merupakan sebuah dokumentasi berupa foto yang berisikan banyak kenangan dan cerita bagi Adit.
Lanjut ke sebelah kiri Adit, Miwgar sedang bercerita tentang zinenya; It’s Not About Destination It’s About The Journey.
The Little Things We Should Be Grateful For. Sebuah zine fotografi yang cantik milik Nabjjla. Gambar hati berwarna merah membekas di ingatan saya akan zine Nabjjla.
Pada line up di tahun ini, Pardesela (kebetulan saya sendiri) menjadi satu-satunya zine yang berisikan kumpulan puisi. Ya, saya memang tak begitu paham perihal tata letak, desain, sampai ilustrasi. Jadi untuk urusan itu sampai mencetak saya dibantu oleh Taxlan. Sesuai judul zine saya: Dari Makna Kembali Kepada Makna, perihal makna tulisan sampai ilustrasi kami kembalikan kepada yang mau memaknai itu sendiri hehe.
doc. Ruli Amrullah |
Kentaii menyambung obrolan seputar Aloha. Judul yang menurut saya simple dan gampang diingat. Konsep zine Aloha ini mengingatkan saya pada brosur atau katalog mobil. Karena Kentaii mengisi zinenya dengan banyak ilustrasi mobil-mobil buatan Jepang.
Guru Muda Mati Muda. Sebuah zine karya Kak Ruli Amrullah. Isinya tentu saja seputar guru muda dan segala dinamikanya. Kemudian ada sebuah zine lagi yang dibawa oleh Kak Ruli. Zine ini berbahan sebuah buku yang menurut saya sangat unik dan antic. Kertasnya tua, masih diketik dengan mesin ketik dan yang paling unik, buku itu dapat dibaca dari kiri maupun kanan. Disampingnya, ia jahit secara manual. Pada lembaran buku yang ditemukan Kak Ruli di Rumah Susun itu, ia tempelkan berbagai foto.
“Kalau zine kalian dibaca dari kiri, nah zine ini dari kanan,” begitulah kata pemandu obrolan kita setelah melihat konsep zine Katakan Pada(ku) Apa Yang Kau Lihat Pernah. Dibuat oleh Hehefoto X Do.Bloc. Zine yang berisi kumpulan foto ini memang dibuka dari kanan. Keunikan juga nampak pada angka yang menandai halaman, karena zinesters-nya membuat nomor penanda halaman dengan angka Arabic. Tak hanya itu, bagi saya yang ikonik dari zine ini adalah. Halaman belakang terdapat logo Tut Wuri Handayani.
Semuanya berlangsung dengan asik dan hikmat. Kemudian pemandu acara kita menutup Palembang Zinefest di hari kedua: dengan syukur, doa, serta “ha-ha-ha-ha”. Di hari ketiga zinefest akan masih dilanjutkan dengan workshop kolase analog oleh Israx.
Sial, padahal mau belajar kolase analog tapi waktunya berbenturan dengan acara nobar dokumenter dan konser Efek Rumah Kaca.
Andai saya bisa membelah badan ....
Tabik!
Pardesela.
No comments: